Google Menolak Ikuti Aturan Uni Eropa Terkait Pemeriksaan Fakta

Google Menolak Ikuti Aturan Uni Eropa Terkait Pemeriksaan Fakta

18 Januari 2025

Google secara resmi menyatakan penolakannya untuk mengikuti aturan baru Uni Eropa terkait pemeriksaan fakta di platform digital. Langkah ini memicu kontroversi di tengah upaya Uni Eropa untuk mengatasi penyebaran disinformasi secara online, terutama menjelang pemilu dan krisis global lainnya.


Latar Belakang Aturan Baru Uni Eropa

Uni Eropa baru-baru ini memperkenalkan kebijakan yang lebih ketat untuk mengawasi penyebaran informasi palsu di platform digital. Dalam aturan ini, perusahaan teknologi besar seperti Google, Meta, dan Twitter diwajibkan untuk:

  • Menyediakan sistem pemeriksaan fakta yang transparan.
  • Bekerja sama dengan lembaga independen untuk memverifikasi konten.
  • Memastikan tanggung jawab penuh atas algoritma yang menyebarkan berita.

Aturan ini diperkenalkan sebagai bagian dari Digital Services Act (DSA), yang dirancang untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk disinformasi, termasuk pada isu kesehatan, politik, dan keamanan.


Sikap Google

Google menilai aturan baru ini terlalu membebani, terutama dalam hal tanggung jawab untuk memverifikasi informasi di setiap konten yang muncul di platform mereka. Dalam pernyataan resminya, Google menyatakan bahwa mereka telah memiliki sistem moderasi dan pemeriksaan fakta yang memadai.

“Google selalu berkomitmen untuk melawan disinformasi melalui algoritma canggih dan kerja sama dengan pemeriksa fakta pihak ketiga. Namun, aturan baru Uni Eropa ini tidak realistis dan akan membatasi inovasi serta kebebasan berekspresi,” ujar juru bicara Google.

Perusahaan juga mengkhawatirkan biaya tambahan yang akan muncul jika mereka harus memenuhi standar pemeriksaan fakta yang ditetapkan oleh Uni Eropa.


Kritik dari Uni Eropa

Komisaris Uni Eropa untuk Pasar Internal, Thierry Breton, mengkritik keputusan Google, menyebutnya sebagai “kurangnya tanggung jawab dari raksasa teknologi.” Breton menegaskan bahwa aturan baru ini dirancang untuk melindungi masyarakat, bukan untuk membatasi kebebasan platform.

“Jika mereka tidak mematuhi aturan, Uni Eropa tidak akan ragu untuk memberlakukan sanksi berat. Tanggung jawab sosial adalah hal yang harus diutamakan oleh perusahaan sebesar Google,” tegas Breton.


Reaksi Publik dan Pengamat

Keputusan Google memicu reaksi beragam dari publik dan pengamat teknologi. Sebagian pihak mendukung langkah Google, menganggap bahwa aturan tersebut dapat menghambat kebebasan internet. Namun, ada juga yang menganggap sikap Google menunjukkan kurangnya komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas.

“Ini adalah momen penting. Apakah Google memprioritaskan kebebasan berekspresi atau sekadar menghindari tanggung jawab?” ujar seorang analis kebijakan digital.

Di sisi lain, organisasi pemeriksa fakta independen mendesak Google untuk lebih proaktif dalam menangani disinformasi, terutama di masa krisis seperti pandemi atau pemilu.


Dampak Potensial

Jika Google terus menolak mematuhi aturan ini, Uni Eropa memiliki wewenang untuk memberlakukan sanksi berat, termasuk denda hingga 6% dari pendapatan global tahunan mereka. Selain itu, langkah ini dapat memengaruhi hubungan antara Google dan negara-negara anggota Uni Eropa, yang selama ini menjadi pasar utama bagi perusahaan tersebut.


Penutup

Penolakan Google terhadap aturan pemeriksaan fakta Uni Eropa menyoroti ketegangan antara regulasi pemerintah dan kebebasan platform digital. Dengan Uni Eropa yang bersikeras untuk menegakkan aturan ini, konflik antara kedua pihak kemungkinan akan terus memanas, membawa dampak besar bagi masa depan regulasi teknologi di Eropa dan dunia.